Pengalaman dan kebersamaan yang tidak bisa terulupakan


Pemandangan yang begitu indah menghiasi langit di kampungku, warna yang begitu biru membeningkan mataku dan awan-awan putih terbang bebas melayang-layang bagi kapas yang sangat ringan ditiup angin, membuat tatapanku berbinar-binar memancarkan cahaya kekaguman yang begitu takjub, sebenarnya pemandangan seperti ini sudah biasa melukisi mataku ketika bangun pagi dan melunakkan hatiku lewat keindahannya, terkadang aku ingin terbang di antara awan-awan seperti burung yang menari dengan sayapnya di udara.

Hari ini adalah hari dimana perasaanku seperti kabut karena kesedihan menyelimuti hatiku, hari ini harus kutinggalkan senyum-senyum seluruh anggota keluargaku bukan karena senyum mereka tidak manis, tetapi karena aku ingin melihat senyum mereka lebih manis lagi dengan cara menuntut ilmu walaupun itu berat bagiku, bukan karena aku tidak mau tetapi, karena
keterbatasan ekonomi menghadang langkahku serasa tak bisa bergerak, terikat oleh tali yang sangat kuat hanya orang tuakulah yang melepaskan ikatan itu,

"kamu tak perlu resah , malaikat ikut mendoakanmu ketika engkau mulai melangkah menuntut ilmu" kata ayah dihadapnku ketika aku mulai mepersiapkan keperluanku kedalam ransel.

Mendengar perkataan ayah itu menggetarkan hatiku, terasa ingin cepat pergi berjuang menghunus penaku
di belanatara peperang kebodohan, sinar mata ayah yang begitu meyakinkanku menerangi ruang-ruang keresahan jiwaku, apalagi kerelaan ibuku melepasakanku menuntut ilmu tak bisa kubendung lagi
aku hanyut dalam semangat mereka yang ingin melihatku bermanfaat karena ilmu di masa depan kelak.

Sirine motor sappoku menjangkau dan menarik daun telingaku untuk segera cepat-cepat keluar,
"pipp, pipp" suara sirine motor itu memanggil lagi
"tunggu" teriakku keras
kusalami jemari ibu dan ayahku dengan khidmat yang begitu tinggi
"hati-hati ki nak" kata ibu dengan logat orang bugis makassar.
"iye bu.." jawabku pelan sambil menunduk
kepala yang aku tundukkan di depan ayah membuatnya geram.
"hei Abhe" kata ayah tegas
"kamu ini orang ini Bugis, semangat yang membara mengalir ditubuhmu seperti para passompe' bugis dulu"
"iye yah tapi.." jawabku
"Abhe kamu tak bisa seperti kerupuk yang sekali dikena air langsung lembek" kata ayah lagi
"bukan begitu yah" jawabku
"lantas apa!"
"aku takut jika kepergianku ini, hanya dapat menambah beban ayah dan ibu" ucapku di depan ayah
"beban apa?" tanya ayah lagi
"pembayaran kuliahku nanti, kitakan orang miskin" jawabku
"Abhe dunia ini terlalu sempit jika hanya untuk diratapi dan di tangisi" kata ayah semangat
"namun, dunia ini sangatlah luas untuk kita gunakan menuntut ilmu, kemudian mengamalkannya" sambung ayah
mendengar perkataan itu aku merasa seperti disuntik oleh obat penenang, menenangkan keresahaanku, dan menambah semangatku untuk segera melangkah, dan aku merasa ingin menghabiskan sandiwaraku dengan menuntut ilmu, kutegakkan kepalaku seperti tiang listrik yang jatuh kemudian diangkat lagi oleh rombongan orang-orang, tatapan keresahanku tak ingin kutampilkan lagi di biji mataku, dan kutak ingin membuatnya lagi berkedip ketika kata "di luar sana dunia sangatlah kejam", kutak ingin memundurkan kakiku lagi kebelakang walau itu sejengkal,
entah apa yang membuat ayah dan ibuku sangat mendorong aku kuliah, padahal ayah tak tamat SD dan ibu tamat tetapi harus menempuhnya dengan 10 tahun, memang dorongan itu telah kurasakan ketika aku menginjak bangku sekolah dasar, selama enam tahun bersekolah raut wajah ibu tak pernah berubah membuat sarapan sebelum aku berangkat sekolah, dan tangan ayah tak pernah berhenti mencari puing rezeki untuk membiyai sekolah, begitu juga saat Smp dan Sma.

Terkadang kuberpikir saat ada teman yang bercerita kepadaku tentang orang tuanya yang bawel kepadanya, padahal ia tak melihat bagaimana ibu bangun lebih dulu mepersiapkan sarapan untuk anaknya dan ayah harus berjalan lebih dulu ke sawah sebelum anaknya pergi ke sekolah.

Sinar matahari sedikit semakin tinggi merenangi bumi, aku masih terdiam untuk melangkah, di balik pintu yang terbuat dari papan bekas yang penuh dengan foto-fotoku waktu SMA dulu
"berhentilah menatapnya nak"kata ibu
"iye bu"jawabku
"yang perlu engkau tatap adalah jalan masa depanmu yang penuh dengan bebatuan dan kerikil yang sangat tajam di depan sana" kata ibu lagi
"mari kita keluar secepatnya, tuh ada sappomu yang sudah lama menunggu"
tunjuk ibu mlihat sappoku yang menikmati asap demi asap rokoknya.

Disekitar temanku menunggu, terlihat warga kampung yang berjalan, melangkah dengan irama yang sama, menyanyikan sapa saat bertemu, saling mengirimkan senyuman ke hati setiap orang menambah sesakku didada karena harus meninggalkan semua itu,
seandainya aku keluar hanya untuk mencari kebahagiaan dan keindahan kampung ini sudah cukup bagiku, tetapi, di luar sana ada ilmu yang harus kutuntut agar mendapatkan kebahagiaan dan keindahan yang sesungguhnya
"mungkin sekarang aku harus berangkat dengan penuh keyakinan".


                                        

                                           
"berangkatlah nak, ibu dan ayah telah menghalalkan darahmu untuk berjuang di luar sana" kata ibu yang menahan air matanya di depanku
"ingatlah Abhe, mabelakotu sappai deceng-nge, iyapa mulisu mulolongeppi muakkataiyye" sambung ayah yang berbahasa Bugis, artinya engkau berjalan jauh mencari kebaikan, pulanglah ketika engkau telah mendapatkan apa yang engkau cari dengan menahan air mata yang juga ingin tertumpah
aku hanya tersimpuh di depan ibu dan ayah, mendengarkan nasehat mereka, memejamkan mata menghirup segala hikmah dari ayah dan ibu dalam-dalam sampai kedasar jiwaku, terasa mengalir seperti air di sungai yang airnya sangat bening, barangkali aku terlalu cengeng menjadi seorang anak muda Bugis, aku tahu itu, tapi menurutku tidak menghormati orang tua lebih rendah daripada cengeng, biarlah airmata tak malu-malu di depan orang tua jika itu dapat mewakili identitasku sebagai anak kepada mereka
"hentikan air mata itu ," kata ayah sambil memukul lembut pundakku
setiap kali ayah berkata, pastilah denyut jantungku berdetak kencang, langsung kujalangkan perintahnya, telapak tanganku menyapu air mata yang menempel di pipi, "simpanlah air matamu itu, karena dalam perjalananmu menuntut ilmu, ada banyak hal yang akan engkau tangisi" sambung ayah kusalami tangan ibu yang tak lembut akibat bumbu dapur yang ibu buat ketika aku ingin makan, dan tangan ayah yang lebih keriput di banding ibu akibat kerasnya tanah yang harus di cangkul sebelum matahari menghamparkan sinarnya di permukaan bumi, namun, baunya harum, mungkin karena air wudhu yang terus melengket di kulit mereka, "Abhe, cepatlah! Nanti keburu malam kamu di jalan" teriak sappoku yang sudah bosan lagi menungguku, "iye, tunggumaka" jawabku dengan logat Bugis Makassar
saat aku melangkah kakiku terasa berat, seakan diikat oleh rantai besi, terasa berat harus meninggalkan ibu dan ayah di kampung, debu-debu beterbangan di antara sela-sela sepatuku dan mendarat ditalinya, sepatuku tampak kotor karena debu itu, orang-orang kampung menatapku haru, tatapan mereka menyemangatiku sebagai anak orang miskin yang mau kuliah di kota Makassar, tatatapan mereka kubalas dengan senyuman yang merekah dan kusalami tangan mereka satu persatu, tetapi, wajah mereka masih berwarna abu-abu, tak ada warna yang menggembirakan, maklum di kampungku ini penuntut ilmu sangat dimuliakan, yang mereka pandang yang membuat kaya seseorang adalah ilmu yang bermanfaat bagi sesamanya.

                                  

Kumulai duduk di motor sappoku, tampak ia telah menstater motornya dengan kaki, di saat motor itu telah berbunyi dadaku terasa kosong, bayangan-bayangan kesendirian merasuki otakku saat di kota nanti, aku anak pertama karena itulah aku lebih banyak merasakan kasih sayang orang tuaku, bulat-bulat, sappoku memberikanku helm yang warnanya telah memudar akibat sengatan sinar matahari ban motor telah mulai bergelinding melaju kedepan, tetapi, wajahku menatap kebalakang melihat tangan ibu yang melambai-lambai dan air matanya dibiarkan tergenang di kelopak matanya, tak dibiarkan membasahi bulu matanya, tatapan berbinar-binar ibu, ayah, dan semua warga kampung mengiringi kepergianku menuntut ilmu di kota Makassar sedikit demi sedikit aku meninggalkan kampungku, rumah panggung khas bugis Makassar yang menjulang tinggi tampak mulai kecil, sesekali aku menatap kedepan tetapi kebanyakan aku menatap kebelakang, halusinasiku tentang senyum keluarga mengikuti di belakang motor yang aku kendarai, jalanan yang berlubang di sepanjang jalan ini terasa membuatku bergoyang di atas motor bersama sappoku, tetapi hatiku tetap merindu, jika seandainya aku di suruh untuk menjelaskan kerinduanku ini di atas kertas mungkin sudah menjadi buku yang berjilid-jilid, ada banyak tanjakan yang aku harus lalui bersama sappoku, sekarang aku harus memfokuskan impianku dan mencoba melupakan segala kenangan yang aku pernah tanam di kampungku, kukuatkan pegangan kusiapkan posisi tubuhku di atas motor
melihat burung-burung kecil yang beterbangan di atas ilalang di sepanjang jalan ini, membuatku bertanya-tanya dalam hati "apakah nanti aku bisa melihat pemandang seperti ini di kota" suara sappoku memotong perenunganku
"Abhe di kota itu, banyak gedung-gedung yang menjulang tinggi, semua yang ingin engkau beli ada semua" kata sappioku sambil melajukan motornya, "oh... Begitu ya sappo" jawabku singkat, "iya begitulah, kamu bisa bersenang-senang di sana, hidup bebas, tak ada lagi pekerjaan menanam di sawah atau pergi di empang seperti pekerjaanmu selama ini " kata sappoku yang mengahadap kebelakang
mendengar pernyataan sappoku aku hanya terdiam dan berpura-pura tidak mendengar padahal, bagiku itulah yang tidak mau aku tinggalkan, karena pekerjaan seperti itu aku dapat berkomunikasi dengan alam dan menyanyi dihamparan sawah yang luas dan petak empang yang berbaris rapi bersama kambing yang juga ikut bergoyang di payungi langit biru indah membentang.




Akan terpesona dengan semua itu" sambung dengan nada mengguri kepadaku
tentang hiruk pikuk dunia di kota aku tak mau tahu itu, yang jelas aku dapat kampus yang cocok bagiku, dan aku dapat mendapatkan ilmu walau sedikit
setelah sappoku menyuarakan kehidupan di kota, ia menggas motornya lebih kencang, tampak pengendara di sekelilingnya menyoroti dengan pandangan kesal, lambung kiri lambung kanan, kukuatkan peganganku, karena baru kali ini aku naik motor di jalan raya, tetapi belum sampai di kota Makassar
"kenapa, takutko kah?" tanya sappoku dengan logat Bugis Makassar
"hati-hatiki sappo, nanti jatuki" jawabku yang juga berlogat Bugis Makassar
Sappoku ini memang orangnya pemberani, ia di gelari jagoe di kampung saya, tetapi ada satu hal yang aku sangat sukai dari sappoku ini adalah kebijaksanaannya memaknai kehidupan, walaupun ia di hormati oleh pemuda yang ada di kampungku, tetapi aku tak pernah melihat sappoku ini menyimpan rasa dendam, bahkan senyumannya setiap hari ia mekarkan dengan warna gigi yang sedikit memutih akibat sering sikatgigi.hehe...


                                   


hari ini adalah hari bersejarah bagiku, karena itu kunikmati semuanya, sampai wajah-wajah pengguna jalan kusimpan dalam memori otakku, hari di mana aku mulai melangkahkan kaki ke perguruan tinggi, mulia menapaki jejak akademisku yang jauh dari rumah dan kandang ayam ibuku, walau aku tahu kedekatan anak dan orang tuanya tak dibatasi oleh jarak, detik demi detik sedikit silih berganti perjalananku bersama sappoku mulai terasa lama dan jauh, aku tak tahu di daerah mana aku sekarang, yang aku lihat ada banyak orang berkulit putih para wisatawan dan kupu-kupu yang berwarni-warni memenuhi udara, kupu-kupu itu sangat indah dan banyak, aku tak pernah melihat sebelumnya, keherananku itu membuatku bertanya kepada sappoku yang berkonsentrasi mengemudikan motornya
"sekarang, kita di mana ini sappo" tanyaku agak keras karena mungkin sappoku tidak mendengarnya, helmnya besar dan sangat erat menutupi telinganya
"a.a.a.. Apa yang kamu bilang, coba kamu ulang" jawab sappoku yang tidak jelas mendengarkan pertanyaanku "sekarang, kita di mana ini sappo" tanyaku lebih keras
"ooo.. Ini kab. Maros"
"ketika kamu melihat kupu-kupu yang banyak jenisnya berarti kamu berada di Bantimurung-Maros" sambung sappoku lebih jelas
"ooo... Gitu yah sappo, tapi, ada juga air terjunnya," kataku masih heran
"sudah termasukmi itu" jelas sappoku
"ooo... Pannessai sappo" jawabku polos dalam bahasa bugis yang berarti "yang jelas dong sappo"
"kau itu , hahaha" ucap sappo sambil menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa suasana ketegangan dan keharuan saat itu pun musnah begitu saja, sekarang laju motor yang di kemudikan terasa pelan, angin yang tadinya kencang menerpa helmku, sekarang malu-malu menyentuhnya, ada banyak orang yang menyebrang di sekitar taman nasional Bantimurung ini, membuat sappoku sekali-kali menurungkan kakinya, harus ekstra berhati-hati karena ada banyak anak kecil di antara kerumunan orang-orang tersebut ketika hendak melewati kawasan wisata tersebut patung kupu-kupu dan monyet atau kera berdiri tegak, mempersilahkan orang-orang melewatinya, baru kali ini aku melihat patung tersebut, selepas melewati patung itu, sappoku menambah laju motornya lagi, tali penyanggah ranselku terasa melorot, kukuatkan kembali karena bisa jadi di jalan poros Makassar-Maros nanti, ada banyak belokan yang aku harus lalui dan akan membuat tubuhku terguncang
namun, sekarang aku belum sampai disitu masih banyak perkampungan yang aku lalui dan gunung-gunung kars yang berdiri seperti gedung pencakar langit, kulihat di sinilah prusahaan semen mengambil batu yang akan diolah kembali, dari kejauhan gunung-gunung itu berwarna biru, tetapi ketika aku mendekat lagi warnanya berubah menjadi hijau ada banya jenis tanaman yang tumbuh di atasnya, sangat indah sekali, memang di kampungku ada juga gunung tetapi tak seindah gunung yang ada di kabupaten Maros ini
perjalanan yang jauh membuat bola mataku, ingin segera melihat kegelapan, bulu mataku ingin saling mecumbui, segera ingin terlelap, tetapi, sengatan sinar matahari mengganggu kantukku, panasnya merambah kepori-pori kulitku, menghanguskan bulu-bulu kulitku yang tadinya kering oleh sinar-sinar keresahan sepeninggal keluarga di kampung, keringat menguap keluar, menjadikan kulitku terasa basah dan agak sedikit lengket, karena baju kaos yang aku pakai ini tak bisa menutupi seluruh permukaan kulitku, lengannya pendek dan berbahan tipis
tiba-tiba sappoku membelokkan motornya, ternyata ia singgah di SPBU mengisi bensin, sappoku tak punya uang pas, ia memintanya kepadaku
" Ada uang kecilmu disitu" tanya sappoku mengulurkan tangannya
"berapakah sappo" jawabku
"10. 000 mo" sambung sappoku
"iye, adaji, inie sappo" kataku sambil memberikan uangku, sappoku kemudian memengambilnya, dan memberikannya ke petugas SPBU, petugas SPBU itu pun langsung mengisi tangki bensin, yang telah di buka oleh sappoku, bau bensin itu menyengat hidungku, aku tak bisa berlama-lama berdiri disini karena di belakangku ada banyak orang yang menunggu, wajah mereka nampak resah, ingin cepat-cepat mengisi bensin, kemudian pergi ketujuan masing-masing
zaman ini, tak bisa lagi lepas oleh bahan bakar minyak (BBM), apalagi di negeri ini, pertumbuhan produksi kendaraan setiap tahun semakin meningkat, wajar berita macet menghiasi stasiun televesi setiap pagi, seketika itu aku bangga sebagai anak petani tambak karena tidak ada kemacetan yang aku rasakan dan bau asap-asap kendaraan yang mengganggu hidungku
aku dan sappoku melanjutkan perjalanan, tibalah aku di sebuah daerah yang ramai, ada banyak orang yang berlalu lalang, mobil-mobil pete-pete (angkutan umum) berjejer rapi, ruko ruko megah berdiri
"daerah apa ini namanya sappo" tanyaku
"ooo... Inimi kotanya Maros" jawab sappoku
"yang aku katakan tadi" sambungya
"berarti kita sudah dekat dari Makassar" tanyaku lagi
"masi agak jauh" jawab sappoku dengan nada santai motor ini masih tetap melaju, bersama dengan bayangan bayanganku akan hidupku nanti di kota Makassar.
"sampai disini saya bisa mengantarmu Abhe" kata sappoku sambil memberhentikan motornya
"ini daerah apa namanya sappo" tanyaku heran
"kamu serkarang sudah berada di kota Makassar, tapi bagian utaranya"
ternyata beginilah Kota Makassar, lebih ramai lagi di banding kota Maros tadi, lebih banyak gedung dan ruko-ruko berdiri berjejeran di sepanjang jalan dan kantor-kantor dinas pemerintah, dan juga pusat perbelanjaan, masjidnya-masjidnya besar, tidak seperti di kampung
"aku pulang dulu, semangat ya!" kata sappoku yang telah bersiap pulang
"jadi aku ditinggalkan sendiri di sini sappo" tanyaku tak percaya
"hei, kamu ini anak muda Bugis, pantang menyerah, sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai" kata sappoku sambil mengatakan prinsip orang Bugis-Makassar
Sappoku kemudian pergi, dengan beberapa kata yang memiliki makna sejuta, mengakar di hatiku, menguatkan jiwaku, aku duduk termangu di pinggiran trotoar, menghitung kedipan-kedipan lampu merah yang berada di dekat masjid jami' nurul hidayah, Daya Makassar, memandang kekiri-dan kekanan, dipercik oleh angin motor dan mobil yang melaju kencang di depanku saat lampu hijau menyala, di tambah lagi kerongkonganku terasa kering, di dekatku ada warung, kumelangkahkan membeli sebotol air putih, walau sebenarnya bukan hanya tenggorokanku yang kering tetapi juga perutku meraung-raung untuk di isi makanan, aku tak bisa menuruti maksud perutku ini sekarang, aku harus bisa bersabar bersama berjalannya waktu, apalagi aku belum menemukan kampus, yang sejatinya tujuan utamaku ke kota Makassar ini
"Allahu Akbar, Allahu Akbar" suara adzan terdengar di masjid depan aku duduk sekarang, aku pun melangkah ke masjid itu mentunaikan panggilan-Nya, sekaligus kuistirahkan badanku yang telah lelah,
kuambil air wudhu, terasa segar sekali membasahi permukaan kulitku, kumelangkah masuk di masjid, membentangkan sajadah yang telah disiapkan oleh pengurus masjid ini
setelah semua kuhambakan, hati, jiwa dan raga kepada Allah swt, kusandarkan punggungku pada dinding masjid, walau hati telah tenang, pikiranku masih melayang kemana-mana, merambah kesetiap sudut-sudut masjid, pertanyaan tentang "mau kemana aku sekarang" menbeku di otakku, mendinginkan jiwaku
kulihat jamaah di masjid ini berbondong-bondong keluar.
                                                        ***


Penulis cerita pendek,
1.Sahyul Padarie
2.Muhammad Azhar.
3.Abhe/Abrar

4 Komentar

  1. Permisi Ya Admin Numpang Promo | www.fanspoker.com | Agen Poker Online Di Indonesia |Player vs Player NO ROBOT!!! |
    Kesempatan Menang Lebih Besar,
    || WA : +855964283802 || LINE : +855964283802

    BalasHapus